Usianya 200 Tahun, 17 Anaknya Sudah Meninggal, Begini Cara Kakek Ini Bertahan Hidup Hingga Sekarang


Usianya 200 Tahun, 17 Anaknya Sudah Meninggal, Begini Cara Kakek Ini Bertahan Hidup Hingga Sekarang
Ada sebagian orang Indonesia yg usianya mencapai lebih menurut 100 tahun. Satu pada antaranya, mbah Gotho, laki-laki  berasal Sragen, Jateng.

Sebelum tutup usia pada 30 April 2017 kemudian, beliau sempat merayakan Ultah-nya yg ke-146 tahun. Satu lagi, kakek yang dikabarkan usianya tertua ketika ini adalah mbah Arjo Suwito.

Meski tidak terdapat bukti tertulis atau kesaksian orang lain, tetapi kakek dari Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar ini menjamin usianya telah 200 tahun lebih.

Namun, data di balai desanya, dia tercatat kelahiran 1825. Saat ini, dia hidup beserta anaknya, Ginem (53). Katanya, Ginem itu anaknya yg ke-18, berdasarkan istrinya yang keenam.

Sejak tahun  1990-an, mereka tinggal di lereng Gunung Kelud atau tepatnya, pada Gunung Gedang. Dari zenit Gunung Kelud itu, loka mbah Arjo berjarak sekitar 10 kilometer.

Untuk menuju ke lokasi itu, tak gampang lantaran jalannya relatif sulit, menggunakan melalui perkebunan pohon Karet, yg masuk daerah perhutani (BKPH Wlingi).

Makanya, itu wajib  ditempuh dengan sepeda motor yg telah dimodifikasi seperti trail.

Jika mau ke tempat itu, rutenya harus melalui Kecamatan Talun, lalu ke arah utara lebih kurang 12 kilometer yang sudah masuk Kecamatan Gandusari.

Dari Kecamatan Gandusari itu, harus ditempuh menggunakan sepeda motor kisi-kisi, & melalui 2 desa, yakni, Desa Gandusari dan Gandungan.

Setelah melalui medan yang sulit sepanjang 7 km, itu baru hingga ke tempat mbah Arjo.

Tempat mbah Arjo itu lebih dikenal menggunakan Candi Wringin Branjang karena terdapat candi yang diperkirakan peninggalan Kerajaan Majapahit.

Bahkan, candi yg bangunannya mirip Candi Penataran itu dianggap-disebut, yg menemukan pertama kali merupakan mbah Arjo tahun 1990.

Saat itu, mbah Arjo baru sebulan menghuni lokasi itu, & menemukan bangunan, yang terpendam tanah pegunungan.

Ditemui Minggu (14/1) pukul 09.00 WIB lalu, dia sedang duduk pada dalam rumahnya. Rumah mbah Arjo, sangat tidak layak karena lebih mirip gubuk, menggunakan berukuran tiga x 4 meter.

Dindingnya asal menurut bambu (gedek), namun sebagian belum dianyam & relatif dipaku. Atapnya terbuat menurut alang-alang bercampur jerami.

“Sejak aku  tinggal pada sini (1990-an), ya ini tempat tinggal   aku . Ini saya tempati dengan anak wanita saya,” tutur Mbah Arjo, yg bicaranya masih lancar namun mengaku sudah setahun relatif susah jalan.

Sejak tidak mampu jalan itu, beliau tak bisa beraktivitas apapun. Bahkan, mulai berak, atau kencing, itu ia lakukan di atas tempat tidurnya, yg terbuat menurut bambu, menggunakan tikar pandan, yg kondisinya sudah kusam.

Meski hayati pada tengah hutan, namun ia mengaku tidak kesulitan air bersih atau kebutuhan makan lainnya. Sebab, pada dekat tempat tinggalnya, terdapat kali, yg airnya relatif jernih.

Untuk makanannya, ia mengandalkan sayur yg ditanam sendiri, misalnya daun singkong, dan bayam. Sementara, berasnya, beliau mengaku menerima jatah beras raskin.

“Kalau nggak dapat jatah beras, ya saya sudah biasa cukup minum air putih saja,” paparnya.

Ditanya usianya berapa? Mbah Arjo mengaku telah 200 tahun. Soal tahun kelahirannya, dia mengaku lupa dan hanya ingat harinya.

Yakni Selasa Kliwon (dalam Subuh). Ia kelahiran Desa Gadungan, yang berjarak kurang lebih 8 Kilometer dari tempatnya sekarang ini.

“Kalau dikait-kaitkan menggunakan insiden jaman dulu soal masa mini   aku , ya saya telah lupa. Namun, saat jaman penjajah Jepang, saya sudah beristri yg keenam kali. Sebab, kelima istri saya itu mati dunia, sebagai akibatnya saya menikah lagi, dan dapat istri orang Ponorogo, namanya Suminem. Ia mati global saat Indonesia Merdeka,” paparnya.

Sebanyak enam kali menikah itu, beliau mengaku dikaruniai 18 anak. Namun, 17 anaknya sudah mangkat  global, & tinggal satu, Ginem, yg hayati bersamanya.

Ia menuturkan, berdasarkan istri pertamanya, Sumini, rakyat Desa Pehpulo, Kecamatan Wates (Kab Blitar), beliau punya anak satu, namun sudah lama   mangkat .

Istri keduanya, Tuminem, dari Desa Semen, Kecamatan Gandusari, punya anak empat, pula telah mati semua.

Dengan istri ketiga, Paijem, asal Desa Ngambak, Gandusari, punya anak empat, pula sudah mangkat . Istri keempat, Tumila, dari Pacitan, punya anak empat, jua sudah mangkat  seluruh.

Untuk istrinya yg kelima, Tukinem, dari Ponorogo, tak dikaruniai anak, baru berdasarkan istrinya yg ke enam, Suminem, asal Ponorogo, dikaruniai empat anak.

Tetapi, ketiganya telah tewas & tinggal Ginem, yg kini   berusia 53 tahun. Hanya saja, ia ketika ini mengalami keterbelakangan mental.

Widodo, Kades Gadungan, menuturkan, sebelum tinggal pada komplek Candi Wringi Branjang, mbah Arjo itu warga  desanya.

Namun, semenjak menemukan candi itu, ia ingin tinggal di situ, dengan mendirikan gubuk.

“Kalau data di kependudukan desa kami, mbah Arjo itu tercatat kelahiran Desa Gadungan, pada 19 Januari 1825. Kalau data pendukungnya, ya nggak terdapat.

Cuma, kakek aku , mbah Mawiro Pradio, yg kelahiran 1918 saja, memangil mbah arjo itu kakek.

Berarti bisa dibayangkan, jikalau mbah Arjo sudah sangat tua. Mbah aku  itu baru tewas tahun 1990 kemudian,” ungkap Widodo yang usianya baru 48 ini.

Entah apa kelebihannya, namun semenjak mbah Arjo menemukan candi itu, dan tinggal pada dekat candi itu, hampir ada tamu yang tiba setiap hari-hari eksklusif.

Lebih-lebih, setiap malam 1 Suro, berdasarkan Widono, mbah Arjo selalu kebanjiran tamu. Tak hanya dari Blitar, tetapi berdasarkan banyak sekali wilayah, seperti Jogjakarta, Ponorogo, Pacitan, bahkan Jakarta.
Usianya 200 Tahun, 17 Anaknya Sudah Meninggal, Begini Cara Kakek Ini Bertahan Hidup Hingga Sekarang
Mereka melakukan ritual pada gubuknya mbah Arjo, seperti melekan.

“Biasanya para tamunya lapor ke desa, bahkan perangkat kami acapkali yg mengantar tamu-tamunya mbah Arjo. Kalau terdapat melek-an 1 Suro, malah kami yg meminjami genset lantaran loka tinggalnya belum terjangkau listrik,” tuturnya.

Bahkan, tamunya tidak hanya kalangan orang biasa, tidak sedikit para pengusaha & para pejabat.

Salah sattunya adalah Heri Noegroho, Bupati Blitar dua periode, mulai 2005-1015.

Meski tamunya poly orang berduit, namun kehidupan mbah Arjo permanen sederhana.

Buktinya, hanya sekadar beli beras saja, tidak mampu seringkali sebagai akibatnya sering tak makan.

“Bahkan, saya tahu sendiri, pernah diberi uang sang seorang pejabat, yang dibantunya, namun mbah Arjo tidak mau. Malah si pejabat itu diberi uang dollar, yang bentuknya masih baru, & orisinil. Oleh pejabat itu, dollar itu diterimanya,” tutur Widodo.

Heri Noegroho, mengaku mengenalnya dengan baik. Itu karena dia kagum dengan kesederhaan mbah Arjo.

“Dulu (waktu masih jadi bupati), saya memang sering ke sana, menggunakan naik sepeda motor. Selain terdapat kepentingan tersendiri menggunakan mbah Arjo, jua sekalian ingin mengenalkan destinasi wisata, yakni candi penemuan mbah Arjo (Candi Wringin Branjang) itu,” tuturnya, Minggu (14/1).

Kalau soal usia mbah Arjo, Heri Neogroho mengaku tidak tahu pasti, tetapi beliau konfiden sudah 100 tahun lebih.

Dari sosok mbah Arjo, Heri mengaku banyak pelajaran hidup yg sanggup dipetik. Selain sederhana, dia mampu bertahan hayati di lereng pegunungan, menggunakan hanya makan seadanya.

“Mungkin, dengan kondisinya misalnya itu, beliau jadi awet hidup lantaran tidak berpikiran macam-macam,” ujarnya.

Mbah Arjo mengaku, selama hidupnya, ia mengalami enam kali Gunung Kelud itu meletus. Tetapi, ia lupa tahunnya.

Dari enam kali meletus itu, menurutnya, yg paling dashyat tahun 1990 atau saat itu dirinya sudah tinggal di lereng gunung tersebut.

Namun demikian, ia tidak mau dievakuasi & tetap tinggal di gubuknya itu beserta anaknya.

“Padahal ketika itu, ketebelan abunya pada desa kami saja hingga 1 meter. Namun, ketika mbah Arjo mau dievakuasi, nggak mau. Malah bilang, aku  nggak usah dievakuasi lantaran aku  sudah kenal semua & sahabat aku  pada sini poly. Padahal, di gubuknya itu, dia hanya tinggal berdua dengan anaknya, namun pungkasnya temannya poly,” papar Widodo.

Baru ketika terjadi letusan Genung Kelud tahun 2014 lalu, papar Widodo, terpaksa mbah Arjo dan anaknya, dievakuasi paksa meski menolaknya.

Memang, rakyat tidak risi, kali lahar yg ada di depan gubuk rumahnya itu meluap hingga ke gubuknya, cuma yang ditakutkan, ia terkena efek dari letusan itu.

“Katanya, aku  nggak usah dibawa pulang, wong di sini aku  sudah ada yg memayungi. Tapi, kami nggak tega, ya saat itu kami ke balai desa,” ungkapnya.

Meski mbah Arjo mengaku tak pernah pulang ke mana-mana, tetapi bukan berarti tak punya pengalaman hayati yg berharga.

Hanya saja, itu sporadis diceritakan ke orang lantaran dipercaya tidak perlu. Misalnya, dulu semasa jaman usaha, beliau mengaku seringkali bertemu Bung Karno, & Supriadi, Pahlawan pembela tanah air (PETA).

Saat itu, dia masih tinggal pada Dusun Sukomulyo, Desa Gadungan. Oleh Bung Karno dan Supriadi, beliau disuruh menemaninya saat melakukan ritual pada lerang Gunung Gedang, yang sekarang berdiri bangunan gubuknya itu.

“Saat itu, saya sudah tua, bahkan Pak Karno dan Pak Supriadi, masih jejaka, sehingga jikalau memanggil saya, mbah,” papar mbah Arjo.

Katanya, dirinya mampu kenal dengan Bung Karno dan Supriadi, melalui kontak batin.

Akhirnya, mereka bertemu pada suatu malam, dan disuruh menemani ritual di lereng Gunung Kelud itu.

“Kalau ritual, saya hanya duduk di sampingnya, hingga terdengar ayam berkokok. Tetapi, antara pak Karno dan Pak Supriadi, seingat saya tidak pernah melakukan ritual bersama pada sini. Saat itu, aku  lupa sedang terjadi peristiwa apa di Indonesia, namun tampaknya belum kemerdekaan,” paparnya, yang mengaku waktu masih acapkali ketemu Bung Karno itu dirinya telah menikah enam kali.

Menurut mbah Arjo, saat Bung Karno seringkali ritual pada tempatnya itu dulu, kondisinya masih hutan belantara, bahkan masih poly binatang buas. Tempat duduk yg digunakan ritul Bung Karno itu, kini   letaknya di dalam gubuknya itu.

Dari pengalaman spritualnya itu,dia akhirnya meninggalkan kampungnya & tinggal di sebuah gubuk di tempat itu tahun 1990.

“Selama tinggal di sini, saya memang acapkali bermimpi, bertemu Pak Karno. Bahkan, pada mimpi aku  itu, Pak Karno tak jarang berkunjung ke sini,” ujarnya.

Ditanya soal tips hidupnya, dalam usia segitu kok masih sehat?

Ia mengaku tak punya tips apa-apa. Cuma, beliau pernah makan ikan karena memang tidak terdapat ikan. Setiap hari, beliau hanya makan sayuran, yang ditanam sendiri, & banyak minum air putih.

“Pesan aku , jangan banyak pikiran. Agar tidak selalu kepikiran, jangan menyakiti orang, agar tidak jadi beban. Seperti saya tinggal pada sini ini, siapa yg saya sakiti wong tak terdapat orang lain, selain anak aku ,” ungkapnya.

Selama hidupnya, dia mengaku baru setahun ini measakan sakit dalam kakinya. Kedua kakinya tiba-tiba tak sanggup digerakkan.

Sebelumnya atau setahun kemudian, ia masih mampu menyangkul atau menanam sayur-sayuran, seperti bayam, mencari kayu bakar, mandi ke kali sendiri, yang terdapat pada belakang rumahnya. Tetapi, saat ini segala kebutuhannya, dilayani anaknya.

“Saya ini nggak pernah sakit, bahkan pilek (flu) saya nggak pernah. Soal makanan, ya seadanya, wong aku  seringkali puasa, karena memang keadaannya tak ada yang dimakan lebih. Kecuali, minum air putih, & makan apa yang terdapat,” pungkasnya.

Suamber: tribunnews.Com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel