Saat Kaya Semua Seperti Saudara, Saat Miskin Tak Ada yang Peduli..

Mungkin banyak yang pernah atau sedang mengalami ini. Saat usaha kita drop, bisnis orang tua juga anjlok, utang di mana-mana, orang-orang yang kita kenal jadi enggan bertemu. 
Bahkan kalau ketemu di jalan, mereka akan cari alasan untuk belok arah menghindari kita. Jangankan hanya teman, keluarga sendiri juga jadi enggan ngobrol-ngobrol lagi. Pacar mu mungkin akan minta putus dalam kondisi begitu.

Namun saat kamu mulai bangkit atau bahkan berada di puncak, ekonomi membaik, rumah dan mobimu puluhan kali lipat lebih besar dan mewah dibanding orang-orang sekitar, mendadak banyak orang ingin menemuimu. Orang-orang pun menyapa dengan ramah. Seolah di manapun kamu berada, di situlah rumah saudaramu.

Tak Hanya Shalat yang Perlu Kita Jaga, Pergaulan pun Harus Senantiasa Kita Jaga
Kondisi seperti ini adalah kondisi normal. Begitulah sebuah kehidupan dan hukum alam tercipta. Karena pada dasarnya setiap orang menginginkan kenyamanan. Saat kita berada di bawah dan terpuruk, orang-orang di sekeliling kita menghindar karena malas mendengar cerita sedih penuh kegagalan. Mereka juga takut dipinjami atau dihutangi. Kamu juga akan menjadi orang yang tidak penting lagi untuk diajak diskusi. Karena apa yang bisa diharapkan dari orang yang gagal? Bahkan berkomentar dan memberi masukan pun pasti tidak diterima. Ya karena hidupnya sendiri sudah gagal kok mau memberi masukan. Dua kondisi hidup ini pasti pernah kamu alami, atau akan kamu alami nantinya. Lalu apa yang perlu dilakukan ketika kamu berada di dalam salah satu kondisi tersebut? begini…

Saya pernah merasa berada di posisi yang begitu kelam, jatuh ke lubang kegagalan yang sangat dalam. Ijazah sarjana tertahan karena tak punya biaya, sehingga tidak bisa melamar kerja atau melanjutkan kuliah. Selain itu orang tua juga dalam kondisi drop. Hutang di mana-mana.

Yang saya lakukan pada masa-masa kritis dulu adalah menjaga impian dan semangat untuk hidup. Mengapa ini penting? Karena dalam situasi terburuk, banyak orang cenderung berpikir bagaimana caranya agar bisa cepat keluar dari masalah yang dialaminya. Padahal berpikir dalam kondisi terburuk itu sungguh tidak mudah. Sehingga kalaupun dipaksa berpikir dan ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah, yang muncul justru adalah jalan pintas. Mulai dari prostitusi, narkoba, mencuri dan lainnya.

Dalam sujud-sujud panjang, sebagai hamba saya berkomunikasi dengan Tuhan. Meminta apapun yang saya inginkan. Kemudian bangkit dan percaya bahwa masalah saya akan selesai. Bagaimana caranya? Ya terserah Tuhan. Sebab Dia lah yang maha mengatur segala-galanya. Memang, saya terus beraktifitas, berusaha mencari jalan keluar. Saya melakukan hampir segalanya, bahkan pada hal-hal yang sebenarnya saya tahu itu tak akan membantu sama sekali. Bertemu dengan banyak orang di berbagai acara. Membangun jaringan, mencari peluang. Tapi hal-hal ini memang hanya sebagai pengisi perjalanan. Sebab yang terpenting adalah menjaga impian dan semangat hidup.

Namun kalau kamu sudah berada di posisi yang cukup nyaman, bernasib lebih baik dari teman-teman yang lain, menurut saya kamu perlu memberi manfaat semaksimal mungkin. Setelah kebutuhan keluarga tercukupi, harus sedekah dan beri utangan kepada teman-teman yang membutuhkan.

Sedekah dalam pemahaman saya sebagai orang awam bukan sebagai metode transaksi materi dengan Tuhan. Tidak bisa kita sedekah 1 juta misalnya, kemudian beraharap dilipat gandakan menjadi 10 kali lipat. Memang ada beberapa hadits dan riwayat yang membahas bab sedekah ini, dan sangat menggiurkan. Sehingga materi sedekah ini menjadi andalan salah seorang ustad untuk berdakwah ke pelosok daerah. Bahkan yang sedang kesulitan, juga diajak sedekah. Disuruh jual-jualin aset yang ada untuk sedekah demi mendapat 10 kali lipat.

Sebab janji Tuhan untuk membalas dan melipat gandakan sedekah yang kita salurkan tidak tertuang dalam kontrak tertulis ataupun memiliki jangka waktu tertentu. Balasan Tuhan bisa langsung dan singkat, bisa bertahun-tahun, atau bahkan bisa di akhirat. Untuk itu jangan jual asetmu untuk bersedekah, bersedekahlah hanya jika kamu sudah memenuhi kebutuhan keluarga.

Jika bukan karena harapan dilipat gandakan, lalu mengapa kita perlu bersedekah saat sedang jaya-jayanya? Karena roda kehidupan ini berputar. Hari ini jaya, besok atau lusa bisa saja berada di bawah lagi. Dan saat berada di bawah, apa kita tidak malu meminta-minta kepada Tuhan sementara saat jaya malah melupakan anjuran-anjuranNya? Bukankah doa kita sama, saat terpuruk dan berada di bawah, kita kerap berdoa dan berandai-andai, kalau saya kaya pasti saya sumbang untuk si A, bersedekah dan sebagainya. Jadi tak ada alasan untuk tidak kita lakukan.

Begitu juga dengan alasan mengapa kita perlu memberi utangan terhadap teman-teman yang membutuhkan. Karena roda kehidupan ini berputar dan punya konsekuensi logis. Kalau bukan kamu yang memberi utangan, lalu siapa yang mau membantu teman-temanmu? selain itu, beberapa tahun ke depan bukan tidak mungkin orang-orang yang berhutang kepadamu itu justru akan lebih sukses dan kamu akan perlu bantuan darinya.

Intinya sih bagi saya adalah memberi manfaat dan membuat pondasi yang nyaman, agar kalau suatu saat kita jatuh, masih ada orang yang mau menolong atau minimal ikut mendoakan. Yang repot kan kalau ada orang kaya raya, tidak mau pinjamin uang, pelit dan tidak bersedekah. Itu kalau dia jatuh miskin, rasanya akan membuat beberapa orang menjadi bahagia dan tertawa-tawa.

Terakhir, saya tahu bahwa dua kondisi ini memiliki tantangan yang sama-sama berat. Saat miskin cenderung ingin ambil jalan pintas agar cepat kaya, saat kaya mereka merasa takut jatuh miskin sehingga begitu ketat menjaga keuangan. Uang dan kekayaan seolah-olah hanya untuknya sendiri dan tidak boleh ada yang pinjam. Tapi karena roda ini berputar, marilah berputar dengan sesuai. Agar saat miskin tetap berwibawa, dan saat kaya raya tetap bersahaja. Begitulah kira-kira.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel