Tolak Uang Rp10 Miliar, Kakek Suhendri Pertahankan Tanahnya Jadi Hutan Kota
Lokasinya mencolok. Hanya sekira 1 kilo meter dari Kantor Bupati Kutai Kartanegara. Pohon menjulang tinggi di antara pemukiman penduduk menjadi pembeda Agroforestry milik Suhendri.
Kakek berusia 80 tahun itu sejak muda memang mendedikasikan dirinya untuk penyelamatan lingkungan, terutama pelestarian hutan. Baginya, hutan dan pohon adalah cara terbaik menjaga alam.
Lokasi hutan milik Suhendri berada di Jalan Pesut, Kelurahan Timbau, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Posisinya sangat strategis sebagai pengembangan kota.
“Saya pernah menolak uang Rp10 milyar dari pengembang perumahan yang ingin membeli tanah saya,” katanya membuka obrolan pada Rabu (17/2/2021) sore.
Tawaran itu diterimanya pada tahun 2000 silam. Tak hanya sekali, tawaran itu beberapa kali diterimanya.
“Ada dari Jakarta, ada juga dari Yogyakarta,” sambungnya.
Sebab baginya, memiliki hutan di tanah sendiri adalah kekayaan yang tak ternilai harganya. Tawaran sebesar apapun bakal ditolaknya.
“Kalau kita menjaga alam, alam akan menjaga kita. Namun jika kita merusaknya, alam akan marah,” kata Suhendri dengan nada penuh semangat.
Agroforestry milik Suhendri memang kini berubah jadi hutan lebat. Pepohonan tumbuh seolah saling berlomba paling tinggi. Di bawahnya, suasana sejuk sangat terasa meski sore itu sangat terik.
“Ada pohon damar atau agathis, ada juga ulin dan meranti,” sebutnya saat ditanya pohon apa saja di hutan miliknya.
Di bagian depan, berdiri rumahnya yang sederhana. Hanya rumah kayu khas sunda dengan tambahan sejenis padepokan di bagian depan.
“Lahan saya ini panjangnya 100 meter, dan lebarnya 150 meter ke belakang. Jadi totalnya 1,5 hektar,” sebutnya.
Di tempat lain, Suhendri juga memiliki lahan serupa dengan luas yang sama. Hutan pribadi miliknya itu kini telah benar-benar berubah menjadi hutan.
Memulai Tanam Kopi
Suhendri membeli lahan pada tahun 1979 dari seorang warga. Sebelumnya dia adalah pekebun yang memanfaatkan lahan tidur milik orang lain.
Sejak itu, Suhendri sudah punya konsep masa depan lahannya. Dia juga Menyusun rencana dengan sangat baik untuk mewujudkan cita-cita agroforestry.
“Saya tanami dulu palawija untuk membantu kehidupan ekonomi saya. Agroforestry itu agronya dulu atau ekonominya dulu, baru forest-nya,” sebutnya.
Dia pernah menanam seribu pohon kopi. Tanaman itulah yang kemudian menghidupinya di atas lahan tersebut.
“Saat pohon sudah tinggi, kopi tidak lagi berbuah. Jadi saya tebang kopinya,” katanya.
Lantas dari mana Suhendri mendapatkan pemasukan? Saat hutan sudah lebat, dia mengubah lahannya menjadi lokasi wisata. Di beberapa titik di bawah rindangnya pohon, Suhendri membangun gazebo. Di padepokan yang terletak di bagian depan, perantau dari Sukabumi, Jawa Barat ini membangun tempat santai untuk pengunjung.
Tak ada tarif khusus. Dia memberi keringanan kepada pengunjung untuk membayar sesukanya.
“Bagi saya itu sudah cukup, yang penting tidak lebih besar pasak dari pada tiang,” tambahnya.
Pemasukan lain yang didapat Suhendri adalah dari memanfaatkan Pohon Damar. Selain itu dia juga menanam teh di bagian belakang hutan.
“Kalau mau ke kebun teh harus masuk hutan dulu,” sebutnya.
Di setiap obrolan, Suhendri selalu menekankan bahaya pemanasan global. Wawasan lingkungannya sangat luas.
Jika orang lain sering berkampanye soal konservasi, Suhendri sudah menerapkan dan menjadi konsep hidupnya. Dia mengingatkan siapa saja untuk terus menjaga lingkungan mulai dari halaman rumah masing-masing.
“Minimal tanam pohon yang bisa bikin sejuk,” katanya.
Sering Jadi Tempat Penelitian
Di teras rumahnya, banyak sekali tulisan-tulisan yang sengaja ditulisnya di berbagai tempat. Kayu, balok, hingga papan ditulis pesan-pesan soal lingkungan.
“Ini ada liputan tentang saya di media Jepang,” kata Suhendri seraya menyerahkan majalah berbahasa Jepang.
Di teras rumahnya itu banyak sekali terpampang foto Presiden pertama RI. Baginya Sukarno adalah inspirasi.
“Dia selalu memegang teguh ucapannya dan tidak melenceng. Saya pengagum Sukarno,” sebutnya.
Di pintu gerbang menuju teras rumah juga banyak tulisan. Di sisi tiang gerbang, ditulis soal cerita perjalanan hidupnya di Kalimantan.
Di salah satu pojokan teras, ada beberapa pemberitaan media cetak tentang dirinya yang dibingkai dengan cantik. Ada juga foto seorang warga negara Jepang yang sedang beraktifitas di lahannya.
“Sekarang orang itu sudah dapat gelar doktornya,” kata Suhendri dengan nada bangga.
Lahan milik Suhendri yang kini berubah menjadi hutan lebat memang sering dijadikan tempat penelitian. Tak hanya dari Indonesia, peneliti asing juga sering meneliti di tempatnya.
Konsisten Menjaga Hutan
Suatu hari, rombongan dari luar daerah menginap di sebuah hotel tak jauh dari lahan milik Suhendri. Mereka kemudian menggelar outbond, tentu saja dengan tarif khusus.
Rombongan berjumlah 40 orang itu rupanya sedikit merusak hutan milik Suhendri. Dia kemudian menolak segala bentuk kegiatan dengan jumlah orang yang banyak.
“Hutan jadi rusak, ranting patah, tanaman kecil diinjak-injak,” keluhnya.
Meski pendapatannya kecil dari kunjungan harian yang tak seberapa, Suhendri sudah sangat bersyukur. Baginya, menikmati alam di hari tuanya adalah surga dunia yang tak bisa digantikan dengan apapun.
Meski kemudian dia harus akui, istrinya meninggal 100 hari lalu akibat kelembaban udara yang berasal dari hutannya. Sebab sang istri alami sesak nafas dari penyakit asmanya.
“Hutan bikin udara lembab dan itu ternyata berpengaruh ke kesehatan istri saya,” katanya.
Namun dia tidak menyesal, sebab umur ada di tangan Tuhan. Menjaga dan merawat lingkungan adalah kewajiban semua orang. Suhendri ingin memberi contoh agar warga tidak mudah melepas lahannya jika masih terdapat pohon.
“Jaga lingkungan kita, jangan dirusak. Alam bakal memusuhi manusia kalau dirusak,” pungkasnya.