Logika Terbalik Kaum Sodom di Indonesia
Senin, 20 Maret 2017
Alkisah terdapat sebuah kota bernama Pompeii, salah satu kota di Italia dimana hasrat jasadi begitu diagungkan. Di sana, istana-istana Romawi berdiri dengan megahnya, kokoh menancap ke dalam bumi. Pemandian indah bak Jacuzzi abad ke-21, kebun anggur, hingga tempat mengundi nasib—Judi—semuanya lengkap tersedia di Pompeii.
Konon masyarakat Pompeii sangat menuhankan birahi. Simbol-simbol erotis dalam bentuk patung berjejer menghiasi kota. Jangan tanya ihwal para penjual tubuh, semua ada—termasuk bagi mereka yang disorientasi seksual—para pedofilia dan homoseksual.
Lupanare atau Lupanar adalah rumah bordil paling terkenal di Pompeii, salah satu primadona lokasi penjaja seks diantara 35 lokalisasi lainnya. Tubuh wanita dan budak seks di Lupanare bisa ditebus dengan harga dua potong roti saja, atau setengah liter minuman anggur. Prostitusi di Pompeii bukanlah hal tabu, bukan pula kriminalitas, tapi sebuah hal lumrah dimana masyarakat menganggap itu biasa saja. Tanpa prostitusi, Pompeii kehilangan identitasnya.
24 Agustus 79, Gunung Vesuvius meletus. Ia merupakan gunung merapi yang terletak di Timur Pompeii. Muntahan lava panas Vesuvius bermula dari gempa yang secara simultan terus menerus terjadi sejak tahun 62. Namun masyarakat Pompeii abai akan hal itu, merasa terbiasa dengan adanya guncangan dari Vesuvius.
Menjelang tengah hari, Vesuvius meniupkan gumpalan abu tebal. Ia menyerupai jamur atau pohon cemara, abu itu kemudian terlempar tinggi ke angkasa, melebar sebelum kemudian jatuh menghujam bumi. Pompeii menjadi salah satu wilayah yang terkena imbasnya. Pompeii ditimpa musibah besar. Peradaban Pompeii hilang ditelan abu vulkanik dan lava panas.
18 abad kemudian, reruntuhan Pompeii secara tak sengaja ditemukan. Dan yang mengerikan adalah penemuan fosil-fosil manusia yang telah membatu. Ia tak membatu dalam pose normal, namun jasad-jasad keras itu ditemukan dalam posisi sedang bersetubuh. Jumlahnya banyak, bukan hanya satu atau dua. Banyak sekali.
Namun yang paling mengerikan adalah ditemukannya beberapa fosil manusia yang diidentifikasi sedang berhubungan dengan sesama jenis, homoseksual. Bahkan ada pula yang bersetubuh dengan bocah kecil. Naudzubillah, summa naudzubillah
Kamis 25 Agustus lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam rangka ulang tahunnya yang ke-22 memberikan penghargaan bagi para pegiat hak asasi manusia. Ironisnya AJI menganugerahkan hal itu kepada LGBTIQ—Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Inseksual, dan Queer. Yang lebih Ironis adalah kehadiran Menteri Agama RI, dimana beliau diundang untuk memberikan orasi ilmiah. Hal yang sangat disayangkan oleh banyak pihak, meskipun beliau berdalih tak tahu menahu mengenai siapa yang bakal diberi penghargaan tersebut.
Tak lama berselang, kasus prostitusi online gay terbongkar di Bogor (30/8/2016). AR, tertangkap tangan tengah bertransaksi, menjual tubuh tujuh bocah tak berdosa lewat media sosial seharga 1,2 juta per orangnya. Setelah ditelusuri lebih jauh, Direktur Tindak Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Agung Setya menyebutkan ada 99 anak jadi korban prostitusi untuk ladeni nasfu para gay.
“Hasil cyber kami menemukan satu akun Facebook yang menawarkan anak-anak di bawah umur,” kata Agung di kantornya, Rabu, 31 Agustus 2016 lansir Islampos, Jumat (2/9/2016).
Ketika mereka, manusia-manusia dengan orientasi seksual menyimpang membela diri, dengan mengatakan itu adalah ‘Hak Asasi Manusia’—bahkan hingga dianugerahi penghargaan segala. Tetap saja semua itu tak bisa membolak-balik logika normal kehidupan ini.
Apakah orientasi hidup seperti itu harus kita dukung? Diberi penghargaan dan diberi tempat di Indonesia dengan alibi ‘Hak Asasi Manusia’? Kini mereka mulai meneror kehidupan anak-anak kecil, dengan menjadikannya sebagai mangsa hasrat hewaninya. Apakah hal itu kita abaikan saja?
Mari kita berpikir sederhana, apakah ada hewan yang bersetubuh dengan hewan yang kelaminnya sejenis? Atau apakah ada hewan yang menggagahi hewan lainnya yang notabene masih unyu-unyu? Adakah?
Menjungkirbalikan logika, sama halnya dengan menunggu tragedi Pompeii terulang kembali. Apakah mereka tak bisa sembuh? Jawabannya adalah bisa! Tinggal memutar balik logika mereka ke tempat semula.
Semoga bermanfaat
Sumber: islampos.com