Tak Semua Perjuangan Kita Dihargai Orang Terdekat, Termasuk Keluarga Sendiri
Tak pernah ada yang bisa baik-baik saja saat terjebak dalam hubungan yang beracun (toxic relationship). Baik dalam hubungan keluarga, kerja, pertemanan, hingga hubungan cinta, terjebak dengan seseorang yang memberi kita luka jelas membuat kita menderita.
Namun, selalu ada cara dan celah untuk bisa lepas dari hubungan yang beracun tersebut. Selalu ada pengalaman yang bisa diambil hikmahnya dari hal tersebut. Simak kisah Sahabat Fimela berikut yang diikutsertakan dalam Lomba Let Go of Toxic Lover ini untuk kembali menyadarkan kita bahwa harapan yang lebih baik itu selalu ada.
Oleh: S
Sempat terlintas di pikiranku bahwa aku tak lagi menginginkan hidup ini. Bak dalam sebuah film dengan tokoh-tokoh pemainnya, aku serasa selalu mendapatkan peran pembantu. Apa yang kulakukan tak pernah cukup berarti untuk sekitar terutama orang-orang terdekatku. Setidaknya persepsi inilah yang terbentuk beberapa tahun belakangan ini di benakku.
Tak pernah mudah memang jika kita dilahirkan dalam sebuah keluarga besar. Ayah pernah menikah dan tak mendapatkan anak, mungkin karena alasan ini, ketika berkeluarga dengan ibuku, ayah jor-joran sampai mendapatkan sembilan anak. Seperti di keluarga besar lainnya, tugas mengurus adik akan didelegasikan kepada anak-anak yang lebih tua.
Aku terbiasa memomong adik-adik ketika orangtuaku mengais rezeki di sepetak sawah kami. Mungkin karena alasan ekonomi juga, aku harus mengubur mimpiku menjadi perawat dan berhenti sekolah di SMP. “Adik-adikmu harus terus sekolah, Nak," bisik ibu ketika kami mengantarkan adik perempuanku ke asrama perawat untuk melanjutkan pendidikannya. Ya baik aku atau adik yang jadi orang, kan sama saja, kataku pada diri sendiri untuk menawarkan perih di hati.
Merawat Ibu
Besar keinginanku untuk melanjutkan hidup, bekerja di tempat yang jauh lalu membangun sebuah keluarga. Namun masih kuingat jelas kejadian sore itu, “Cari perempuan lain saja. Nggak bisa dipakai dia itu, pemalas,” suara kakak iparku terderdengar sayup namun cukup jelas pada keluarga calon suamiku. Mereka pun tak pernah lagi datang untuk melanjutkan pertunangan kami. Ingin rasanya kumaki kakak iparku namun aku tak ingin ada keributan di rumah kami. Seperti biasanya aku hanya bisa memendam dan diam.
Keinginanku untuk keluar dari rumah harus kembali pupus sepeninggal ayah kami. Ibu yang sakit-sakitan tentu tak bisa lagi bekerja, sementara ada tiga orang lagi adikku yang masih sekolah. Pendidikan yang rendah membuatku sulit mendapat pekerjaan namun ada saja cara Tuhan menunjukkan penyertaannya.
Aku meminjam modal dari seorang pedagang dan membeli bibit-bibit ayam potong. Demikian lah tiap harinya seorang gadis muda harus bolak balik membuang berkantong-kantong kotoran ayam. Pekerjaan tersebut kulakoni sembari merawat ibu yang semakin parah dari hari ke hari. Setiap hari kutemui gumpalan darah seperti potongan tahu di lantai kamar mandi. Dokter pun tak bisa memberikan penjelasan mengenai apa sebenarnya penyakit ibu.
Hasil USG hanya menunjukkan bulatan-bulatan hitam seperti gumpalan angin di perut ibu. Semua kujalani seorang diri, adik-adik yang kuperjuangkan seolah sibuk dengan hidupnya masing-masing. Jangankan membantu biaya, bertanya saja pun tidak. Seperti tak cukup sampai di situ, kakak iparku kembali berulah dengan mulutnya. Dia menyebarkan ke tetangga dan keluarga besar jika aku tak pernah membawa ibu berobat, seolah kondisi ibu yang semakin memburuk adalah dikarenakan ulah dan keras kepalaku. Aku sudah terlalu lelah bahkan untuk sekadar menjelaskan pada mereka semua. Biarlah mereka mau berkata apa, yang penting aku sudah menjalankan peranku sebagai anak.
Ibu mengakhiri penderitaanya setelah dua tahun berjuang. Mereka pun datang dan berkata dengan teganya, “Kamu mau tinggal di mana, Ibu sudah tak ada. Rumah ini hak kami sebagai anak laki-laki." Mereka orang-orang yang kupikir akan membelaku, seakan berbalik menjadi racun yang siap menggerogotiku. Kupikir diam tak selamanya emas. Sudah cukup aku berdiam diri menahan semua sendiri. Toh selama ini apa yang aku lakukan tidak pernah merugikan orang lain. Tak pernah juga aku menuntut bantuan uang atau nafkah dari saudara-saudaraku ini walaupun aku hidup sendiri tanpa seorang suami.
Aku ikhlas untuk apa pun yang pernah kulakukan bagi mereka, namun aku tak bisa lagi berdiam diri dan memendam sendiri tiap mereka datang untuk menyakiti. Aku memutuskan untuk melanjutkan hidup sendiri dengan membuka salon kecil-kecilan. Kutegaskan pada mereka bahwa aku tak pernah mengganggu dan tak ingin diganggu ke depannya. Masih sangat jelas kuingat wajah terkejut mereka ketika kuutarakan uneg-unegku. Memang tidak baik dan benar jika kita memutuskan persaudaraan. Namun yang harus diingat adalah perlu dua pihak yang sama-sama berjuang untuk mempertahankan hubungan. Jika terus disakiti tentu perlu keberanian untuk membela diri dan melangkah maju.
Aku berjanji untuk lebih peduli dengan diriku sendiri kedepannya. Kesalahanku adalah ketika berharap terlalu tinggi dan menggantukan kebahagiaanku pada orang lain. Aku bertanggung jawab untuk membela diriku sendiri dan percaya aku mampu untuk itu.