Rela Tidak Makan & Kelaparan Demi Bisa Memakai Pakaian Mewah, Potret Kehidupan Para Sapeur
Rabu, 05 Desember 2018
Republik Demokratik Kongo bukanlah suatu negara maju yang masyarakatnya hidup mewah bergelimang harta. Negara ini penuh dengan riwayat kemiskinan, penyakit menular, kekurangan gizi dan konflik berat sepanjang tahun 1990-an.
Tetapi, di tengah-tengah kekacauan tersebut terdapat suatu fenomena yang cukup menarik perhatian. Sekelompok orang berpakaian mewah tampak mondar-mandir di jalanan kota Brazzaville layaknya bintang film. Mereka diduga berasal dari sub-Sahara Afrika, menjalani kehidupan yang kontras dengan lingkungan mereka.
Orang-orang ini biasa di juluki 'Sapeur', yang berarti 'berpakaian dengan kelas'. Sapeur juga merupakan akronim dari nama kelompok sosial mereka: La Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes (Masyarakat Ambianceur dan Orang Elegan).
Mereka juga dikenal sebagai komunitas La Sape, kumpulan orang-orang pencinta fashion. Penampilan mereka begitu berkelas, baju dan aksesoris mewah yang mereka kenakan bukanlah barang palsu atau tiruan, tetapi benar-benar asli dan harganya selangit!
Walaupun begitu, nyatanya mereka bukanlah orang-orang kaya, sebagian besar adalah petani, supir taksi, buruh kasar dll. Mereka hanya berdandan layaknya orang kaya. Untuk sebagian besar orang, mencari uang untuk makan dan memenuhi kebutuhan pokok lainnya adalah prioritas nomor satu. Tapi bagi para Sapeur, mendapatkan cukup uang untuk membeli pakaian bermerk dari desainer Prancis atau Italia adalah prioritas utama. Mereka lebih baik tidak makan dan kelaparan tapi tetap bisa berdandan mewah.
Bahkan, mereka sampai mengorbankan kesempatan pindah ke rumah yang lebih layak, membeli mobil atau membayar uang sekolah anaknya, untuk dapat memenuhi hasrat fashion-nya. Tidak jarang ada yang menggunakan cara ilegal untuk mendapatkan pakaian mewah yang diinginkan, dan justru membuat mereka berakhir di balik jeruji besi.
Keberadaan komunitas masyarakat ini bukan terjadi tanpa sebab atau 'ikut-ikutan' belaka, sejarahnya bisa ditelusuri pada tahun-tahun awal kolonialisme di negara itu. Orang-orang Prancis sudah terbiasa memberi orang-orang Afrika pakaian bekas Eropa sebagai upah atas pekerjaan. Dan ternyata, hal Ini tetap berlanjut lalu menjadi semacam gerakan sosial yang dihidupkan kembali pada tahun 1970 oleh musisi Papa Wemba, di Kinshasa, ibukota Kongo.
Wemba mempromosikan budaya ini dengan motif politik, melahirkan gelombang perlawanan rakyat terhadap rezim 'autentisitas' Presiden Mobutu Sese Seko. Ia memanfaatkan fashion ala Sapeur sebagai simbol protes atas larangan berpakaian ketat seperti orang Eropa dan Barat yang dipaksakan oleh pemerintah.
Kini, Sapeur menjadi sebuah dilema di negara yang tak henti-hentinya dihancurkan oleh perang saudara, kejahatan, kemiskinan dan permasalahan sosial lainnya. Dengan latar belakang lingkungan kumuh, potret para Sapeur tampak ironis.